Jumat, 09 November 2018

Balasan Kepada Pahlawan

Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia bangun dan bergegas menuju dapur. Membakar kayu, memasak air. Sebagian ia simpan di termos, seperempat lagi langsung ditaruh beberapa gelas berisi bubuk kopi. Biasanya ia isi lagi pancinya dengan air, membiarkannya diatas tungku dengan sisa kayu yang belum terbakar. Kalau waktu subuh sudah mau habis ia langsung bergegas mengambil wudhu dan sholat. Lalu apalagi, dia mengerjakan apapun yang ia bisa lakukan dirumah. Tidak ada kewajiban yang harus ia kerjakan seperti dulu. Tidak ada hal yang harus difikirkan dengan keras seperti dulu. Apalagi kalau tidak ada cucian, tidak ada belarak, tidak ada rumput liar, tidak ada kayu kering, sudah ada makanan, rumah sudah bersih. Kalau sudah benar-benar tidak ada yang dikerjakan, ia memilih untuk duduk di teras sambil meminum segelas kopi hitam buatannya sendiri. Entah apa yang ada di dalam benaknya, ia hanya diam mengamati kendaraan yang melintas di depannya. Kadang tatapannya kosong, sepertinya memang ada yang kurang. Mungkin ia tahu, tapi ia menahan dan memilih memendam. Walau demikian, ia tak pernah mengeluh. Ia percaya dengan pilihannya. Ia paksakan rasa pahit kopinya masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin dengan begitu, ia merasa sedikit lega.


Entah apakah bisa disebut sebagai bayaran atas kesibukannya dahulu? Kalau dulu, jangankan mengamati kendaraan, matahari saja ia abaikan. Sebelum matahari datang ia sudah pergi ke tempat orang lain, mencari uang. Ketika matahari ingin berpamitan juga ia tak peduli, ia masih mencari uang. Dia perempuan yang juga memiliki kewajiban seorang laki-laki. Laki-lakinya menyerahkan tanggung jawabnya kepadanya dan hilang begitu saja. Ia tak bisa menolak, ia ingin berontak tapi tak tahu harus bagaimana. Ia tak tahu harus melampiaskannya kepada siapa. Orang tua? ia tak ingin mereka dihantui rasa bersalah telah salah memilihkan pendamping untuk anaknya. Sahabat? Sepertinya ia tak percaya dengan mereka atau bahkan tidak punya. Keluarga lain? entah buktinya dulu ia berjuang sendiri.


Ia berjuang, bukan melawan penjajah atau semacamnya, ia melawan rasa lelahnya, menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan, demi ketiga budaknya. Ia memikirkan tiga budaknya yang masih bau kencur. Yang harus makan, minum, dan berpakaian seperti manusia lain. Akhirnya apapun ia lakukan, asalkan berlabel halal.


Sampai ketiga budak itu sudah tidak berbau kencur lagi. Mereka punya cita-cita, mereka ingin terus sekolah seperti teman-teman mereka. Namun, mereka lebih memilih melihat realita dan mereka memutuskan untuk bekerja. Mereka mengadu nasib keluar kota. Bertahun-tahun, tanpa mereka lupa pahlawan mereka. Entah bisa disebut seperti itu atau tidak. Ada yang sering pulang, memberikan beberapa buah tangan lalu pergi kembali. Ada yang hanya pulang untuk berbagi kisahnya lalu juga pergi lagi. Dan salah satu dari mereka ada yang pergi tanpa kabar dan jarang pulang. Entah dengan alasan apa mereka berbuat seperti itu. Entah standar seperti apa yang harus mereka lakukan. Tapi sang pahlawan tak pernah menuntut apapun dari budak-budaknya. Walaupun ia sakit, kesepian, tetapi ia tetap bertahan tanpa mengeluhkannya.


Sampai saat ini, ia sudah tidak diizinkan mengabaikan matahari. Bahkan sekarang ia memperhatikan kendaraan, memperhatikan cuaca, memperhatikan kucing, dan hal lain yang dulu sempat ia abaikan. Namun, bukan hanya sekedar itu. Ia rindu budak-budaknya yang sekarang juga memiliki budak. Ia ingin berbincang dengan mereka, membahas matahari, kucing, ataupun cuaca.


Dan sampai saat ini, ia masih menahan dan terus memendam. ''Sampai kapan?''batinnya.


Jangan ditiru ya, antarkalimat masih membingungkan dan setiap paragraf masih terlalu panjang. Ehehe, ayo dong kritik.

28-05-20

Sulit sekali untuk mempercayainya, membenarkannya sekali sekali, memaafkannya, dan menerimanya. Mungkin karena belum pernah kucoba sebelumny...