Selasa, 26 November 2019

Depresi


WUHUU, aku rasa tulisan ini bisa saja me trigger para pembaca. Untuk itu, diharap hati-hati dan aku sangat suka jika ada yang mau memberi kritik dan saran atas tulisanku ini. Selamat membaca.
Standar dan nilai dibentuk dari suara masyarakat  mayoritas. Lalu bagaimana kami yang tidak bisa memenuhi standar dan nilai kalian. Akankah kalian bisa menerima kami?
Walaupun hanya dengan sepasang telinga kalian, itu sangat membantu. Jika kalian tak mau mendengarkan kami. Jangan salahkan kami yang merasa lebih nyaman untuk diam dan memendam. Jika masalah ini terus menerus kami pendam ke dalam tabung kami yang punya kapasitas? Bisa saja sewaktu-waktu...doar...tangan kami berdarah, obat tidur kami konsumsi dengan lahap, sungai-sungai berbau anyir mayat. Karena kami tak tahu harus mengekspresikan dengan apa dan bagaimana.
Sekarang sudah tak sedikit orang yang mencoba dan berani speak up tentang kesehatan mental. Mulai dari kalangan artis, seperti Marshanda dan Ariel Tatum. Mereka mencoba membuang makna tabu untuk membicarakan tentang isu kesehatan mental. Mulai dengan membuat konten di channel youtubenya sampai membuat seminar. Selain itu, banyak juga flatfoam dan aplikasi gratis yang tersedia dan bisa diunduh gratis di smartphone kita. Dari data WHO, setiap 40 detik satu nyawa hilang. Isu ini didengung-dengungkan, karena angka kematian ini bisa membuat bergidik ngeri siapa saja yang membayangkannya.
--- Pemuda yang Depresi ---
Dilansir https://www.cnnindonesia.com/ , penelitian yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics menemukan, kunjungan gawat darurat karena upaya bunuh diri pada anak berusia 5-18 tahun melonjak dari 580 ribu pada 2007 menjadi 1,1 juta kasus pada 2015. Data ini didapat setelah peneliti menganalisis kunjungan ke unit gawat dararut pada anak-anak.
Wahyu Budi Nugroho, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi, Fisipol Universitas Gadjah Mada ini melakukan penelitian independennya yang berjudul Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi: Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh Diri di Kalangan Pemuda Indonesia. Dalam jurnalnya ia mencoba mengurai permasalahan tingginya angka bunuh diri pada pemuda dewasa ini kiranya tak dapat lepas dari penelaahan akan apa, siapa dan bagaimana karakteristik dari pemuda itu sendiri.
Banyak ahli yang mendefinisikan arti dari terminus “pemuda”. Talcott Parsons (dalam Barker, 2009: 339) misalnya, mendefinisikan pemuda sebagai mereka yang memiliki posisi sosial di antara anak-anak dan orang dewasa ditinjau melalui segi institusi keluarga, pendidikan dan pekerjaan. Posisi sosial tersebut berimplikasi pada tanggung jawab pemuda yang jauh lebih besar ketimbang anak-anak, namun mereka tetap berada di bawah kontrol orang dewasa (orang tua), suatu kondisi yang cukup dilematis memang. Namun demikian, Parsons ajeg menekankan bahwa karakteristik utama yang dimiliki pemuda adalah kecenderungannya untuk bergabung dengan dunia orang-orang dewasa.
--- Nilai dan Harapan ---
Banyak hal dan setiap orang memiliki penyebab yang berbeda sampai dia bisa mengalami ganguan mental. Siapa manusia yang bisa memahami manusia lain? Sekalipun mereka memiliki hubungan biologis atauun sedekat papaun mereka.
Bahkan sekalipun tenaga profesional. Tiga psikologi yang kuhubungi tak cukup membuatku ingin lagi bertemu dengan psikologi lain. Mereka hanya menyuruhku ikhlas dan bersyukur? Terlepas dari itu. Dukungan juga sangat itu sangat kami perlukan. Kami tidak butuh penilaian kalian tentang itu. Kami butuh cara bagaimana untuk bersyukur dan menerima diri kami sendiri.
Manusia merdeka itu manusia yang bagaimana? Menurutkku ia yang bisa memilih sebebas-bebasnya pilihan dan jalan hidup kami. Jika kami memaksakan, kami harus menerima resiko yang seharusnya tidak kami terima.
Itu juga penting untuk kalian tahu. Harapan kalian, para orang tua, juga sangat penting untuk kami. Nilai yang bagus, lalu masuk universitas faforit, kerja yang mapan, punya rumah bagus, dan apalah itu. Jika aku hidupku hanya untuk memenuhi harapan-harapan kalian, lalu tak boleh kah aku egois? Aku tak bisa bernafas bebas, terikat dengan nilai-nilai yang kalian bentuk.
--- Stigma Kurang Bersyukur dan Kurang Iman ---
Dilansir pijarpsikologi.org, ada sebuah penelitian yang menemukan sebanyak 75% orang dengan gangguan mental mengaku pernah mengalami stigma negatif dari masyarakat. Angka tersebut seakan-akan menggambarkan perilaku masyarakat kita yang minim edukasi, tapi mengedepankan persepsi. Banyak orang masih beranggapan bahwa kesehatan dan gangguan mental adalah sesuatu yang tabu dan layak untuk dihindari. Banyak isu-isu yang sengaja tidak dibicarakan karena pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait kesehatan mental masih sebatas hal gaib yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun.
Masih di artikel yang sama dijelaskan juga salah satu stigma yang berkembang di masyarakat bahwa Depresi Disebabkan Karena Kurang Iman dan Kurang Bersyukur.  Padahal komentar yang mencemooh tersebut justru akan semakin membuat orang dengan depresi semakin tenggelam dalam fase depresinya. Depresi bukan tentang bersyukur.
Media informasi dan konsultasi psikologi gratis yang berdiri sejak 2015 ini juga menjelaskan bahawa orang-orang dengan depresi klinis memiliki rasa rendah diri yang besar, memiliki perasaan bersalah yang tinggi, dan bahkan memiliki keinginan untuk mati. Depresi juga bukan karena kurangnya ibadah dan hubungan dengan Tuhan. Seseorang yang mengalami depresi juga pergi beribadah ke gereja, melakukan meditasi bagi penganut Budha, rajin sholat serta puasa bagi Muslim, tetapi masih saja depresi. Mereka masih mengalami depresi, panic attack, melakukan self-cutting, dan masih berpikir untuk bunuh diri. Jadi, depresi tidak hanya sekadar tentang tingkat keimanan, ketagwaan, dan relasi seseorang terhadap Tuhannya. Namun, depresi lebih dari itu.
--- Yang Harus Kalian Tahu ---
Dalam channel youtube menjadi manusia, untuk memperingati hari kesehantan mental. Dibuat konten yang berisi investigasi tentang beberapa jenis penyakit mental. Lalu, apa yang harus kita lakukan ketika ada orang terdekat kita yang mempunyai kesehatan mental. Di video terseut dijelaskan oleh salah satu psikolog bahwa setiap dari kita tak punya tanggungjawab untuk membantu mereka sampai sembuh. Tetapi, yang paling harus dilakukan adalah dengan membawa mereka ke tenaga profesional. Sekian.

Rabu, 13 November 2019

Gedubrak


Harapan yang kosong
Tadi pagi hujan tak mau berhenti
Rasa yang dimakan waktu
Semua berlalu tanpa sempat ku bersua kepada dunia
Impian yang semu
Terus berjalan tanpa tahu kemana harus berlabuh
Seperti awan gelap yang selalu kembali ke atas kepalaku
Sementara dengan kekekalan yang tak kita pernah tahu
Menuntunku sambil membisikkan cinta, harapan, dan juga ikatan
Tanpa mau memberiku kesempatan
Tuk keluar dan berhembus
Tak kurasakan bab selalu ku abaikan
Leherku kucekik
Mataku menyipit
Tanganku menangis merah
Tubuhku jatuh sejatuh jatuhnya ke jurang terdalam di seluruh alam semesta
Lalu ditempa, ditekan, lalu tak bisa bangun lagi
Hari pun terus berlalu
Ku terdiam
Di tengah malam
Ku tertawa
Di atas semuanya
Ku ingin pulang
Membenamkan tubuhku, pulang.

Jumat, 08 November 2019

SORAI


14 derajat celsius
Ubun-ubunku yang hangat harus berbagi kehangatannya kepada kedua tanganku yang memutih karena hari memulai lagi. Dimana aku nanti ngopi? Baju apa yang kupakai untuk dua hari kedepan? Bagaimana aku menghabiskan hari ini?
01.17 AM
Kenapa aku masih hidup? Tadi ibuku membawa samurai menatap tajam mataku dan menyusulku ke lantai dua. Ia membunuhku dan semuanya putih. Seorang ibu membunuh anaknya sendiri yang durhaka, kurang lebih seperti itu headline yang tertera di koran.
Dunia kapuk
Kenapa setiap scene berganti dengan cepat tetapi masih jelas? Sepertinya pikiran-pikiran ku kemarin siang berubah menjadi monster jahat yang masuk dan menggodaku di sini. Ibu dan bapak masih tetap dengan argumennya masing-masing. Kata bapak, bapak sudah mengalah. Kata ibuk, yang penting anak-anaknya bahagia. Kata nenek, nenek tak punya hak apapun untuk ikut campur urusan anak cucunya.
Bumi
Disini aku bermain peran sesuka ku. Tapi akhir-akhir ini aku tak suka dengan peranku yang menjaadi diri sendiri. Aku adalah aku yang menjadi aku yang tak suka. Tapi kenapa kalo aku enggak suka sama diriku sendiri?. Kecewa, sedih, marah, “itu hanya perasaan belaka” katanya begitu. Sialnya, aku termakan kalimat itu.
Sekali di setiap jam yang terlewati
24 jam. Aku tidur rata-rata jam sepuluh malam dan bangun jam lima pagi, tujuh jam. 24-7 = 17 jam aku hidup. Berati tujuh belas kali aku merasa sia-sia.
Masihkah ada waktu yang banyak untuk sampai pada titik kebahagianku yang utopis? Untuk apa? Katamu dulu hidup untuk sang pencipta sudah lebih dari cuku, Nan? Lah, sudah meregang apa-apa yang dulu aku genggam erat. Semoga, ya hari itu, aku bisa meninggalkan bumi dengan baik.[1]
Potongan-potongan kecil
-      Malam hari. Ada bapak, ibuk, dan juga aku. Kita habis banja-banja manja. Aku yang capek akhirnya dipunji sama bapak sambil merem nikmatin angin malam yang katanya gabaik buat kesehatan tapi nyatanya enak banget. Ibuk jalan di samping bapak. Mereka ngobrolin banyak hal, seingetku. Mereka juga ngerasani aku, tapi aku lupa apa yang mereka bicarakan. Tapi, tanpa disangka momen ini adalah momen yang paling nyaman dan bahagia yang paling baik kesimpen di memori.
-      Dulu, bapak kalo dagang bakso pakek sepatu olahraga, pacakane mbois ilakes. Kalo sekarang boro-boro pakek celana panjang, seringnya sekarang pakek celana pendek sama kaos. Tapi dulu keknya seru banget gitu. Sebelum berangkat, biasanya aku suka ngerjain bapak. Kadang tak suruh nggambar binatang(yang paling aku inget si gambar bebek yang sering digambar bapak, wkwk). Pernah juga bapak  tak suruh jadi kuda terus aku tunggangin. Keliling-keliling rumah sepetak yang dulu bergema cekikikan kita bertiga.
-      Kalo ibuk, aku lebih inget cara dia nerapin disiplin waktu dan urus tetek bengek pekerjaan rumah. Ibuk itu suka kebersihan sama kerapian. Walopun rumah di Jakarta itu kecil, tapi selalu rapi dan bersih.


Hal-hal yang terus berputar setiap hari selama beberapa bulan terakhir. Sulit untuk melepasnya, tanganku sudah terlalu erat menggenggam. Sampai suara itu terdengar lagi, genggamanku akan semakin erat. Aduh, tanganku sakit! 
Lalu, ku ambil tali ku ikatkan potongan-potongan ini menjadi satu. Di ujung yang lain, kulilitkan di tangan kiriku. Semakin keras suara itu, mataku semakin tertutup rapat, tangan kananku semakin sibuk melilitkan tali. Crot...urat nadiku hampir putus!
Inikah ketenangan itu, Tuhan?! Aku mati di akhir cerita. Selamat tinggal.

[1] Tanpa tangisan berlebih dan kebahagian berlebih.

28-05-20

Sulit sekali untuk mempercayainya, membenarkannya sekali sekali, memaafkannya, dan menerimanya. Mungkin karena belum pernah kucoba sebelumny...