WUHUU, aku rasa tulisan ini bisa saja me trigger para pembaca. Untuk itu, diharap hati-hati dan aku sangat suka jika ada yang mau memberi kritik dan saran atas tulisanku ini. Selamat membaca.
Standar dan nilai dibentuk dari
suara masyarakat mayoritas. Lalu
bagaimana kami yang tidak bisa memenuhi standar dan nilai kalian. Akankah
kalian bisa menerima kami?
Walaupun hanya dengan sepasang
telinga kalian, itu sangat membantu. Jika kalian tak mau mendengarkan kami. Jangan
salahkan kami yang merasa lebih nyaman untuk diam dan memendam. Jika masalah
ini terus menerus kami pendam ke dalam tabung kami yang punya kapasitas? Bisa
saja sewaktu-waktu...doar...tangan kami berdarah, obat tidur kami konsumsi
dengan lahap, sungai-sungai berbau anyir mayat. Karena kami tak tahu harus
mengekspresikan dengan apa dan bagaimana.
Sekarang sudah tak sedikit
orang yang mencoba dan berani speak up tentang kesehatan mental. Mulai dari
kalangan artis, seperti Marshanda dan Ariel Tatum. Mereka mencoba membuang makna
tabu untuk membicarakan tentang isu kesehatan mental. Mulai dengan membuat
konten di channel youtubenya sampai membuat seminar. Selain itu, banyak juga
flatfoam dan aplikasi gratis yang tersedia dan bisa diunduh gratis di
smartphone kita. Dari data WHO, setiap 40 detik satu nyawa hilang. Isu ini
didengung-dengungkan, karena angka kematian ini bisa membuat bergidik
ngeri siapa saja yang membayangkannya.
--- Pemuda yang Depresi ---
Dilansir https://www.cnnindonesia.com/ , penelitian yang dipublikasikan
di JAMA
Pediatrics menemukan, kunjungan gawat darurat karena upaya bunuh
diri pada anak berusia 5-18 tahun melonjak dari 580 ribu pada 2007 menjadi 1,1
juta kasus pada 2015. Data ini didapat setelah peneliti menganalisis kunjungan
ke unit gawat dararut pada anak-anak.
Wahyu
Budi Nugroho, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi, Fisipol Universitas
Gadjah Mada ini melakukan penelitian independennya yang berjudul Pemuda,
Bunuh Diri dan Resiliensi: Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh
Diri di Kalangan Pemuda Indonesia. Dalam jurnalnya ia mencoba mengurai
permasalahan tingginya angka bunuh diri pada pemuda dewasa ini kiranya tak
dapat lepas dari penelaahan akan apa, siapa dan bagaimana karakteristik
dari pemuda itu sendiri.
Banyak
ahli yang mendefinisikan arti dari terminus “pemuda”. Talcott Parsons (dalam
Barker, 2009: 339) misalnya, mendefinisikan pemuda sebagai mereka yang memiliki
posisi sosial di antara anak-anak dan orang dewasa ditinjau melalui segi
institusi keluarga, pendidikan dan pekerjaan. Posisi sosial tersebut
berimplikasi pada tanggung jawab pemuda yang jauh lebih besar ketimbang
anak-anak, namun mereka tetap berada di bawah kontrol orang dewasa (orang tua),
suatu kondisi yang cukup dilematis memang. Namun demikian, Parsons ajeg menekankan
bahwa karakteristik utama yang dimiliki pemuda adalah kecenderungannya untuk
bergabung dengan dunia orang-orang dewasa.
--- Nilai dan Harapan ---
Banyak hal dan setiap orang
memiliki penyebab yang berbeda sampai dia bisa mengalami ganguan mental. Siapa
manusia yang bisa memahami manusia lain? Sekalipun mereka memiliki hubungan
biologis atauun sedekat papaun mereka.
Bahkan sekalipun tenaga
profesional. Tiga psikologi yang kuhubungi tak cukup membuatku ingin lagi
bertemu dengan psikologi lain. Mereka hanya menyuruhku ikhlas dan bersyukur?
Terlepas dari itu. Dukungan juga sangat itu sangat kami perlukan. Kami tidak
butuh penilaian kalian tentang itu. Kami butuh cara bagaimana untuk bersyukur
dan menerima diri kami sendiri.
Manusia merdeka itu manusia yang
bagaimana? Menurutkku ia yang bisa memilih sebebas-bebasnya pilihan dan jalan
hidup kami. Jika kami memaksakan, kami harus menerima resiko yang seharusnya
tidak kami terima.
Itu juga penting untuk kalian
tahu. Harapan kalian, para orang tua, juga sangat penting untuk kami. Nilai
yang bagus, lalu masuk universitas faforit, kerja yang mapan, punya rumah
bagus, dan apalah itu. Jika aku hidupku hanya untuk memenuhi harapan-harapan
kalian, lalu tak boleh kah aku egois? Aku tak bisa bernafas bebas, terikat
dengan nilai-nilai yang kalian bentuk.
--- Stigma Kurang Bersyukur dan Kurang Iman ---
Dilansir pijarpsikologi.org,
ada sebuah penelitian yang menemukan sebanyak 75% orang dengan gangguan mental mengaku pernah
mengalami stigma negatif dari masyarakat. Angka tersebut seakan-akan
menggambarkan perilaku masyarakat kita yang minim edukasi, tapi mengedepankan
persepsi. Banyak orang masih beranggapan bahwa kesehatan dan gangguan mental
adalah sesuatu yang tabu dan layak untuk dihindari. Banyak isu-isu yang sengaja
tidak dibicarakan karena pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait kesehatan
mental masih sebatas hal gaib yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun.
Masih di artikel yang sama
dijelaskan juga salah satu stigma yang berkembang di masyarakat bahwa Depresi Disebabkan Karena Kurang
Iman dan Kurang Bersyukur. Padahal komentar yang mencemooh tersebut justru akan semakin membuat
orang dengan depresi semakin tenggelam dalam fase depresinya.
Depresi bukan tentang bersyukur.
Media informasi dan
konsultasi psikologi gratis yang berdiri sejak 2015 ini juga
menjelaskan bahawa orang-orang dengan depresi klinis memiliki rasa rendah diri yang besar,
memiliki perasaan bersalah yang tinggi, dan bahkan memiliki keinginan untuk
mati. Depresi juga bukan karena kurangnya ibadah dan hubungan dengan Tuhan.
Seseorang yang mengalami depresi juga pergi beribadah ke gereja, melakukan
meditasi bagi penganut Budha, rajin sholat serta puasa bagi Muslim, tetapi
masih saja depresi. Mereka masih mengalami depresi, panic attack, melakukan self-cutting, dan
masih berpikir untuk bunuh diri. Jadi, depresi tidak hanya sekadar
tentang tingkat keimanan, ketagwaan, dan relasi seseorang terhadap
Tuhannya. Namun, depresi lebih dari itu.
---
Yang Harus Kalian Tahu ---
Dalam channel youtube
menjadi manusia, untuk memperingati hari kesehantan mental. Dibuat konten yang
berisi investigasi tentang beberapa jenis penyakit mental. Lalu, apa yang harus
kita lakukan ketika ada orang terdekat kita yang mempunyai kesehatan mental. Di video terseut dijelaskan oleh salah satu psikolog bahwa setiap dari kita tak punya tanggungjawab untuk membantu mereka sampai sembuh. Tetapi, yang paling harus dilakukan adalah dengan membawa mereka ke tenaga profesional. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar