Jumat, 08 November 2019

SORAI


14 derajat celsius
Ubun-ubunku yang hangat harus berbagi kehangatannya kepada kedua tanganku yang memutih karena hari memulai lagi. Dimana aku nanti ngopi? Baju apa yang kupakai untuk dua hari kedepan? Bagaimana aku menghabiskan hari ini?
01.17 AM
Kenapa aku masih hidup? Tadi ibuku membawa samurai menatap tajam mataku dan menyusulku ke lantai dua. Ia membunuhku dan semuanya putih. Seorang ibu membunuh anaknya sendiri yang durhaka, kurang lebih seperti itu headline yang tertera di koran.
Dunia kapuk
Kenapa setiap scene berganti dengan cepat tetapi masih jelas? Sepertinya pikiran-pikiran ku kemarin siang berubah menjadi monster jahat yang masuk dan menggodaku di sini. Ibu dan bapak masih tetap dengan argumennya masing-masing. Kata bapak, bapak sudah mengalah. Kata ibuk, yang penting anak-anaknya bahagia. Kata nenek, nenek tak punya hak apapun untuk ikut campur urusan anak cucunya.
Bumi
Disini aku bermain peran sesuka ku. Tapi akhir-akhir ini aku tak suka dengan peranku yang menjaadi diri sendiri. Aku adalah aku yang menjadi aku yang tak suka. Tapi kenapa kalo aku enggak suka sama diriku sendiri?. Kecewa, sedih, marah, “itu hanya perasaan belaka” katanya begitu. Sialnya, aku termakan kalimat itu.
Sekali di setiap jam yang terlewati
24 jam. Aku tidur rata-rata jam sepuluh malam dan bangun jam lima pagi, tujuh jam. 24-7 = 17 jam aku hidup. Berati tujuh belas kali aku merasa sia-sia.
Masihkah ada waktu yang banyak untuk sampai pada titik kebahagianku yang utopis? Untuk apa? Katamu dulu hidup untuk sang pencipta sudah lebih dari cuku, Nan? Lah, sudah meregang apa-apa yang dulu aku genggam erat. Semoga, ya hari itu, aku bisa meninggalkan bumi dengan baik.[1]
Potongan-potongan kecil
-      Malam hari. Ada bapak, ibuk, dan juga aku. Kita habis banja-banja manja. Aku yang capek akhirnya dipunji sama bapak sambil merem nikmatin angin malam yang katanya gabaik buat kesehatan tapi nyatanya enak banget. Ibuk jalan di samping bapak. Mereka ngobrolin banyak hal, seingetku. Mereka juga ngerasani aku, tapi aku lupa apa yang mereka bicarakan. Tapi, tanpa disangka momen ini adalah momen yang paling nyaman dan bahagia yang paling baik kesimpen di memori.
-      Dulu, bapak kalo dagang bakso pakek sepatu olahraga, pacakane mbois ilakes. Kalo sekarang boro-boro pakek celana panjang, seringnya sekarang pakek celana pendek sama kaos. Tapi dulu keknya seru banget gitu. Sebelum berangkat, biasanya aku suka ngerjain bapak. Kadang tak suruh nggambar binatang(yang paling aku inget si gambar bebek yang sering digambar bapak, wkwk). Pernah juga bapak  tak suruh jadi kuda terus aku tunggangin. Keliling-keliling rumah sepetak yang dulu bergema cekikikan kita bertiga.
-      Kalo ibuk, aku lebih inget cara dia nerapin disiplin waktu dan urus tetek bengek pekerjaan rumah. Ibuk itu suka kebersihan sama kerapian. Walopun rumah di Jakarta itu kecil, tapi selalu rapi dan bersih.


Hal-hal yang terus berputar setiap hari selama beberapa bulan terakhir. Sulit untuk melepasnya, tanganku sudah terlalu erat menggenggam. Sampai suara itu terdengar lagi, genggamanku akan semakin erat. Aduh, tanganku sakit! 
Lalu, ku ambil tali ku ikatkan potongan-potongan ini menjadi satu. Di ujung yang lain, kulilitkan di tangan kiriku. Semakin keras suara itu, mataku semakin tertutup rapat, tangan kananku semakin sibuk melilitkan tali. Crot...urat nadiku hampir putus!
Inikah ketenangan itu, Tuhan?! Aku mati di akhir cerita. Selamat tinggal.

[1] Tanpa tangisan berlebih dan kebahagian berlebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

28-05-20

Sulit sekali untuk mempercayainya, membenarkannya sekali sekali, memaafkannya, dan menerimanya. Mungkin karena belum pernah kucoba sebelumny...