14
derajat celsius
Ubun-ubunku
yang hangat harus berbagi kehangatannya kepada kedua tanganku yang memutih
karena hari memulai lagi. Dimana aku nanti ngopi? Baju apa yang kupakai untuk
dua hari kedepan? Bagaimana aku menghabiskan hari ini?
01.17
AM
Kenapa
aku masih hidup? Tadi ibuku membawa samurai menatap tajam mataku dan menyusulku
ke lantai dua. Ia membunuhku dan semuanya putih. Seorang ibu membunuh anaknya
sendiri yang durhaka, kurang lebih seperti itu headline yang tertera di koran.
Dunia
kapuk
Kenapa
setiap scene berganti dengan cepat tetapi masih jelas? Sepertinya
pikiran-pikiran ku kemarin siang berubah menjadi monster jahat yang masuk dan
menggodaku di sini. Ibu dan bapak masih tetap dengan argumennya masing-masing.
Kata bapak, bapak sudah mengalah. Kata ibuk, yang penting anak-anaknya bahagia.
Kata nenek, nenek tak punya hak apapun untuk ikut campur urusan anak cucunya.
Bumi
Disini
aku bermain peran sesuka ku. Tapi akhir-akhir ini aku tak suka dengan peranku
yang menjaadi diri sendiri. Aku adalah aku yang menjadi aku yang tak suka. Tapi
kenapa kalo aku enggak suka sama diriku sendiri?. Kecewa, sedih, marah, “itu
hanya perasaan belaka” katanya begitu. Sialnya, aku termakan kalimat itu.
Sekali
di setiap jam yang terlewati
24 jam. Aku tidur rata-rata jam sepuluh malam dan bangun jam lima
pagi, tujuh jam. 24-7 = 17 jam aku hidup. Berati tujuh belas kali aku merasa
sia-sia.
Masihkah
ada waktu yang banyak untuk sampai pada titik kebahagianku yang utopis? Untuk
apa? Katamu dulu hidup untuk sang pencipta sudah lebih dari cuku, Nan? Lah,
sudah meregang apa-apa yang dulu aku genggam erat. Semoga, ya hari itu, aku bisa
meninggalkan bumi dengan baik.[1]
Potongan-potongan
kecil
- Malam hari.
Ada bapak, ibuk, dan juga aku. Kita habis banja-banja manja. Aku yang capek
akhirnya dipunji sama bapak sambil merem nikmatin angin malam yang
katanya gabaik buat kesehatan tapi nyatanya enak banget. Ibuk jalan di samping
bapak. Mereka ngobrolin banyak hal, seingetku. Mereka juga ngerasani aku,
tapi aku lupa apa yang mereka bicarakan. Tapi, tanpa disangka momen ini adalah
momen yang paling nyaman dan bahagia yang paling baik kesimpen di memori.
- Dulu, bapak
kalo dagang bakso pakek sepatu olahraga, pacakane mbois ilakes. Kalo sekarang
boro-boro pakek celana panjang, seringnya sekarang pakek celana pendek sama
kaos. Tapi dulu keknya seru banget gitu. Sebelum berangkat, biasanya aku suka
ngerjain bapak. Kadang tak suruh nggambar binatang(yang paling aku inget si
gambar bebek yang sering digambar bapak, wkwk). Pernah juga bapak tak suruh jadi kuda terus aku tunggangin.
Keliling-keliling rumah sepetak yang dulu bergema cekikikan kita bertiga.
- Kalo ibuk,
aku lebih inget cara dia nerapin disiplin waktu dan urus tetek bengek pekerjaan
rumah. Ibuk itu suka kebersihan sama kerapian. Walopun rumah di Jakarta itu
kecil, tapi selalu rapi dan bersih.
Hal-hal yang terus berputar setiap hari selama beberapa bulan terakhir. Sulit untuk melepasnya, tanganku sudah terlalu erat menggenggam. Sampai suara itu terdengar lagi, genggamanku akan semakin erat. Aduh, tanganku sakit!
Lalu, ku ambil tali ku ikatkan potongan-potongan ini menjadi satu. Di ujung yang lain, kulilitkan di tangan kiriku. Semakin keras suara itu, mataku semakin tertutup rapat, tangan kananku semakin sibuk melilitkan tali. Crot...urat nadiku hampir putus!
Inikah ketenangan itu, Tuhan?! Aku mati di akhir cerita. Selamat tinggal.
[1] Tanpa
tangisan berlebih dan kebahagian berlebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar